Melihat dari sejarah mengenai keselamatan
kerja yang mulai memakan korban jiwa dalam jumlah yang cukup besar dimulai era
transisi antara Industri 1.0 dan Industri 2.0. Kemudian beberapa Industri mulai
menyadari perlunya melakukan langkah yang tepat untuk keselamatan para pekerja,
dan disepakati secara global di tahun 1970. Karena itu UU no 1 tahun 1970 disahkan
oleh Pemerintah Indonesia.
Sejarah terbesar mengenai kecelakaan kerja
adalah pembangunan terusan Panama, menurut catatan Pemeritah Amerika Serikat,
25.000 meninggal selama pembanguna terusan Panama.
Di era 1930 – 1960 yang menjadi tonggak
revolusi industri, dan tonggak berkembangangnya industri otomotif didunia. 1930
– 1950 era dimana lalu lintas sangat minimm dengan peraturan dan jumlah
kecelakaan lalu lintas meningkat. 1959, sabuk pengaman 3 (V-Type seatbelt) titik
diciptakan oleh Nils Bohlin dari Volvo.
Di Indonesia, peraturan lalu lintas pertama
kali dikenal dengan Staatsblad 1933 nomor 68, kemudian berubah menjadi
Staatsblad 1940 nomor 72, kemudian berubah menjadi UU nomor 7 tahun 1951,
hingga terakhir adalah UU nomor 22 tahun 2009 didukung oleh PP nomor 37 tahun
2017 tentang Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Melihat sejarah diatas, secara peraturan,
pemerintah Indonesia diawal-awal berlakunya peraturan keselamatan, baik keselamatan
ditempat kerja dan keselamatan lalu lintas sesuai dengan perkembangan industri
secara global.
Setelah itu, banyak sekali peraturan tentang
keselamatan kerja yang tertinggal oleh perkembangan jaman dan teknologi.
Sehingga Hierarki Pengendalian Bahaya:
1. Eliminasi
2. Substitusi
3. Perancangan
4. Administrasi
5. Alat Perlindungan Diri
Sama halnya dengan Keselamatan Lalu Lintas:
1. Orang dibalik kemudi
2. Kendaraan
3. Jalan
4. Energi (Bahan Bakar Minyak atau
Listrik)
5. Peraturan
Maka semua Hierarki tersebut diatas harus masuk
dalam setiap element untuk keselamatan lalu lintas.
Analisa terhadap kecelakaan lalu lintas, dimana
kejadiannya, kapankah kecelakaan lalu lintas terjadi, bagaimana kecelakaan
tersebut bisa terjadi. Analisa tersebut seharusnya menjadi pondasi yang dalam
pelaksaan peraturan dan perubahan peraturan kedepannya.
Tahun 2004, WHO mengeluarkan sebuah data, bahwa
1.2 juta orang meninggal dan lebih dari 50 juta orang mengalami luka kecelakaan
lalu setiap tahun diseluruh dunia. Di Indonesia sendiri, tingkat kecelakaan
lalu lintas mulai naik antara tahun 2005, dengan adanya kebijakan kredit untuk
kepemilikan kendaraan bermotor dan didukung GDP Indonesia sebesar 5.69% (tertinggi
setelah 7 tahun dari krisi ekonomi tahun 1998).
Setelah itu, berdasarkan data penjualan
kendaraan dari tahun 2005 – 2011 terjadi kenaikan yang kemudian stabil diangka
7 juta kendaraan pertahun sampai 2019.
Melihat dari pilar WHO – Decade of Actio untuk
keselamatan lalu lintas
1. Manajemen Keselamatan Jalan (Road
Safety Management)
2. Jalan yang Berkeselamatan (Safe Road
& mobility)
3. Kendaraan yang Berkeselamatan (Safer
vehicle)
4. Prilaku pengguna jalan yang
Berkeselamatan (Safer Road User)
5. Penanganan Pasca Kecelakaan (Post-Crash
Response)
Kecepatan penambahan jumlah kendaraan dijalan
tidak disembang dengan perbaikan terhadap pilar-pilar tersebut diatas dan
penmabahan Panjang jalan.
Sehingga, budaya untuk mengutamakan keselamatan
dijalan tidak seiring dengan bertambahnya populasi kendaraan.
Secara global, semua ikut berpartisipasi untuk WHO
– Decade of Action berupaya untuk mengurangi angka kecelakaan lalu lintas.
Hingga hari ini, dengan segala peraturan yang
ada, penambahan jalan dan perbaikan fasilitas jalan, tetapi kecelakaan lalu
lintas masih saja terjadi.
Banyak studi mengenai kecelakaan di Indonesia dilakukan
oleh Departemen Pehubungan, Universitas dan badan Finansial Dunia, dapat
ditarik kesmaan hasil yaitu:
1. Budaya berkendara keselamatan,
dipengaruhi oleh Pendidikan & tingkat ekonomi
2. Tingkat emosional dipengaruhi beban
ekonomi, beban pekerjaan, dan kemacetan
3. Kondisi kendara karena kurang
perawatan dan modifikasi yang salah
4. Gaya hidup.
5. Trend kendaraan.
Hal tersebut, menjadi issue yang sama hampir
sama dibeberpa daerah.
Karena itu, dengan kenyataan yang masih terjadi
dijalan, sangat diperlukan sebuah program yang dapat mencakup semua daerah dan seluruh
demografi umur pengguna lalu lintas.